8 Jul 2010

* Sejarah Batu Lubang

Tapanuli Tengah

Hindari ‘Ciuman’ plus ‘Permisi Lewat’,

Wajib Pencet Klakson… Teeeettt…!

 

Batu Lubang! Itulah sebutan untuk dua terowongan pendek yang terletak di Desa Simaninggir Kecamatan Sitahuis Kabupaten Tapanuli Tengah, sekitar 7 km dari Kota Sibolga. Pengendara yang akan melewati terowongan pendek ini, wajib membunyikan klakson. Ada mistis tertentu?


“Tooootttt… toottt… toooottt!!” Tiga kali bunyi klakson panjang dan pendek sebuah truk Fuso, yang datang dari arah Sibolga menuju Tarutung, terdengar membahana di mulut dua terowongan pendek, terkenal dengan sebutan Batu Lubang, Jumat (17/10).

Setelah tidak ada jawaban balasan dari mulut terowongan dari arah berlawanan, sang sopir pelan-pelan melajukan truknya masuk ke terowongan pertama sepanjang 10 meter, sambil sesekali membunyikan klaksonnya dengan kuat. Klakson terus menjerit sampai truk melewati terowongan kedua yang memiliki panjang sekitar 8 meter. Kendaraan pribadi yang melaju di belakang truk, mengikut sambil juga sesekali membunyikan klaksonnya.

Pemandangan itu sedikit mengundang penasaran METRO. Apakah membunyikan klakson itu murni karena menghindari ‘ciuman’ kendaraan di tengah terowongan lembab dialiri air gunung itu, atau ada mistis tertentu?

Adat Istiadat Batu Lubang 
=Tanda Permisi=
Beberapa cerita dari mulut ke mulut yang dikumpulkan METRO, tradisi membunyikan klakson di Batu Lubang memang wajib hukumnya. “Di samping sebagai tanda bagi arus kendaraan dari arah berlawanan, juga sebagai tanda ‘permisi lewat’ pada ‘penghuni’ Batu Lubang!” kata P Hutagalung, seorang sopir bus, warga Tapteng, kepada METRO.

Ia menuturkan sendiri pengalamannya. Bertahun lalu, pernah dirinya menyopiri bus dari Medan menuju Sibolga. Sebenarnya sesuai kebiasaan, ia selalu membunyikan klakson. Namun saat itu ia lupa. Waktu itu hari sudah subuh, sekitar pukul 5 dinihari.

Saat melintas di tengah terowongan yang memiliki panjang 10 meter, bus yang disopirinya mendadak mati mesin. Jantungnya kontan berdegub kencang. Distater, mesin tetap tak mau hidup. “Terus terang, saat itu saya sempat keringat dingin,” tuturnya. Apalagi suasana gelap gulita, bunyi air mengalir mendesau-desau di sekeliling lubang. Kemudian dia ingat kalau sebelum masuk terowongan, ia lupa membunyikan klakson.

“Ingat cerita teman-teman sopir, saya lalu merokok ‘sepukul’. Setelah itu menghidupkan sebatang rokok lain, turun dari bus, meletakkan rokok di sisi terowongan sambil bilang: ‘Sattabi da ompung…’ Setelah itu, saya kembali ke tempat duduk sopir, mencoba menyalakan mesin. Ternyata hidup. Saya pun segera melaju menuju Sibolga,” kisahnya.

Apakah rokok yang diletakkannya di terowongan yang ‘memfasilitasi’ mesinnya dapat menyala kembali, Hutagalung tak berani berkomentar. “Wallahualam…!” senyumnya.

Kisah senada juga disampaikan T Nasution, sopir bus L-300 trayek Sibolga-Medan. Ia menceritakan, mesin mati tiba-tiba di tengah lubang juga pernah dialaminya beberapa tahun lalu. “Ingat cerita-cerita sesama sopir, saya ambil kotak rokok saya yang masih berisi setengah, saya letakkan di sisi terowongan. Setelah itu, saya hidupkan mesin, eh bisa menyala. Barulah saya melanjutkan perjalanan. Memang saat itu, saya juga lupa membunyikan klakson,” kisahnya.

Kedua kisah sopir itu terjadi beberapa tahun lalu, saat kawasan Batu Lubang masih bernuansa angker. Diakui, saat itu Batu Lubang masih gelap gulita khususnya malam hari. Maklum, belum dipasang lampu sorot seperti saat ini.

Cerita-cerita bernada seram senada, cukup banyak beredar di kalangan masyarakat Sibolga-Tapteng, khususnya di kalangan sopir. Tapi tak semua percaya. Ada juga yang berkata, kejadian mati mesin di tengah Batu Lubang hanya kebetulan semata. “Ahh…, tak ada itu. Mungkin sopirnya saja yang tak mencek kondisi mesinnya sebelum melakukan perjalanan,” kata A Nst, seorang warga Tapteng yang cukup kuat dalam agama.

Benar tidaknya cerita-cerita itu, yang jelas belakangan ini, cerita-cerita serupa sudah jarang terdengar. Maklum, terowongan yang menjadi salahsatu bukti peninggalan sejarah perjuangan rakyat Tapanuli ini, sudah lebih tertata. Di tengah terowongan, beberapa lampu sorot sudah dipasang. Terowongan juga terus diperlebar dengan cara pelan-pelan mengikis batu-batu cadas yang membentengi terowongan. Di mulut terowongan dari arah Sibolga, ada gazebo dibangun untuk tempat memandang-mandang Kota Sibolga dari ketinggian. Beberapa pernik yang mencerminkan sentuhan modernisasi juga dibangun di sekitar Batu Lubang, yang berhasil mengurangi kesan seram.

Suasana di lokasi Batu Lubang ini sendiri sangat sejuk. Desau air menjadi ciri khas. Di lokasi Batu Lubang, memang terdapat tiga air terjun yang mengalir menuju sungai Kota Sibolga. Air terjun pertama dapat dijumpai saat akan tiba di lokasi Batu Lubang. Dua lainnya berada tepat di atas Batu Lubang. Terowongan pun lembab dengan aliran air.

Pemandangan alam di kiri dan kanan jalan sekitar terowongan masih berupa hutan, berikut lembah dan ngarai yang terjal. Kedalaman jurang di sekitar terowongan itu diperkirakan mencapai ratusan meter. Konon, sudah puluhan kendaraan yang terjun ke jurang tersebut. 

=Hindari ‘Ciuman=
Lepas dari cerita berbau mistis di Batu Lubang, menurut Robert Tarihoran (38), warga Desa Simaninggir yang dipercaya Dinas Pekerjaan Umum Sumut ‘menjaga’ Batu Lubang, tradisi klakson lebih untuk mencegah terjadinya ‘ciuman’ kendaraan di tengah lubang, yang dapat mengakibatkan macetnya arus lalu lintas.

“Klakson menjadi isyarat bagi kendaraan dari arah berlawanan, bahwa saat itu ada kendaraan yang akan melintas dari terowongan. Soalnya, jalan masuk ke Batu Lubang tepat berada di tikungan yang cukup sempit. Hanya dapat dilalui satu kendaraan roda empat saja. Karena itu, arus kendaraan harus satu arah saja yang bisa lewat dalam satu waktu,” tuturnya.

Ia menjelaskan, jika pengemudi tidak membunyikan klakson, dikhawatirkan terjadi pertemuan kendaraan di tengah lubang. Hal itu jelas dapat menimbulkan kecelakaan, atau mengakibatkan kemacetan lalu lintas. Kalau terjadi ‘pertemuan’, maka harus ada yang mengalah, dengan cara mundur kembali. Ini tentu menyebabkan arus lalu lintas semakin macet, khususnya jika kendaraan terus berdatangan dari belakang.

Informasi dihimpun METRO, sudah beberapa kali terjadi kecelakaan di tempat itu. Hanya saja belakangan ini, jumlahnya terus menurun.

Kenangan Masa Batu Lubang 
=Buah Kerja Rodi=
Hasil penelusuran METRO dari berbagai sumber, dua Batu Lubang yang terletak di Desa Simaninggir ini, merupakan bukti peninggalan sejarah perjuangan rakyat Tapanuli. Dikisahkan, Batu Lubang dulunya dibuat dan dikerjakan oleh bangsa Indonesia sendiri. Mereka adalah para pejuang kemerdekaan RI yang ditawan oleh penjajah Belanda dan Jepang.

Sekitar tahun 1930, para penjajah Belanda dan Jepang menghadapi kesulitan melewati jalan ini, karena dihempang batu cadas dan hutan belantara. Buntutnya, kaum penjajah memaksa para pejuang Indonesia ini menjadi pekerja paksa (rodi), untuk memahat batu-batu cadas ini hingga jalan Tarutung-Sibolga (Tapanuli Tengah) bisa tembus.

Pada masa penjajahan Jepang, pembuatan Batu Lubang ini terus berlanjut hingga selesai dan dapat dilalui oleh kendaraan bermotor. Konon, pada waktu pembuatan Batu Lubang, banyak para pejuang yang menjadi korban dan tidak sedikit pejuang yang mati. Yang mati, mayatnya langsung dibuang ke jurang.

Selama bertahun-tahun dibiarkan tetap sempit, sekitar tahun 1991, akhirnya pemerintah akhirnya memutuskan untuk memperlebar terowongan. Tapi kali ini tak lagi dengan memahat, melainkan pakai dinamit.

Terpanggil Jadi Penjaga
Dulu, Batu Lubang terkesan seram, karena tidak ada lampu maupun penjaga. Namun saat ini, kesan itu sudah berkurang jauh. Sudah 15 tahun lamanya, Batu Lubang diawasi seorang penjaga, yang digaji Dinas Pekerjaan Umum Rp500 ribu per bulan.

“Dulu sejak tahun 1993, Batu Lubang ini dijaga dan diawasi mertua saya, Serep Simbolon (almarhum, red). Namun sejak mertua saya meninggal awal 2008, saya yang jaga,” kata Robert Tarihoran.

Ditanya kisah terpanggilnya mertua kemudian dirinya menjadi penjaga Batu Lubang, Robert menjelaskan, hal itu dimulai tahun 1991, saat ada pengeboman untuk pelebaran terowongan di di Batu Lubang.

“Tak lama setelah pengeboman, suatu malam saat tidur, mertua saya bermimpi. Ia bermimpi didatangi seseorang, yang mengatakan agar mertua saya membersihkan Batu Lubang. ‘Kau beserta anakmu akan kuberikan alat kompresor untuk membersihkan debu yang ada di Batu Lubang’ Itulah pesan yang diterima mertuaku dalam mimpinya,” kata ayah lima anak ini.

Beberapa hari setelah mimpi itu, mertuanya didatangi Pegawai Dinas PU, dan ditawari pekerjaan untuk merawat dan membersihkan jalan sepanjang Batu Lubang. Pekerjaan sebagai penjaga dilakoni mertuanya sejak tahun 1993 sampai tahun 2008, dengan gaji terakhir Rp500 ribu per bulan.

Sebelum mertuanya meninggal pada Pebruari 2008, pekerjaan sebagai penjaga terowongan diwariskannya kepada sang menantu, yaitu Robert sendiri. Gaji tetap sama, Rp500 ribu per bulan.

Cukupkah untuk menghidupi dan menyekolahkan kelima anaknya? “Yah, pesan mertua hanya satu, selama menjaga Batu Lubang, saya harus selalu memiliki niat baik. Dengan demikian, saya akan diberikan rejeki. Pesan itu saya pegang, dan sampai sekarang kelima anak saya masih sekolah,” katanya.

Rezeki dimaksud datang dari para sopir yang lewat Batu Lubang, yang kerap memberikan sekedar uang rokok kepadanya. “Rezeki itu khususnya sering datang dari kendaraan prbadi,” ungkapnya mensyukuri berkat yang diterimanya.

Objek Wisata
Bagi orang yang belum pernah melewati Batu Lubang, mungkin ingin tahu rasanya melewati Batu Lubang. Jujur, kesannya cukup mencekam. Untungnya, panjang terowongan hanya 10 meter ditambah 8 meter. Di terowongan 10 meter itu yang kesannya agak dramatis, karena terowongan menikung, dengan air menetes di sana sini. Jalan di terowongan itu sendiri sama sekali tidak mulus alias rusak berat. Maklum, tetesan air terus menerus merusak jalan.

Namun demikian, setelah Batu Lubang terang benderang dan tidak seram lagi, belakangan ini beberapa pengunjung sudah dari Kota Sibolga ada yang sengaja datang ke tempat ini untuk menikmati pemandangan dan sejuknya udara. Belum lagi para pelintas yang memilih istirahat sejenak menikmati pemnadangan, di gazebo di mulut terowongan.


“Mungkin kalau lebih ditata dengan membangun beberapa fasilitas, Batu Lubang akan menjadi lokasi wisata alam/sejarah yang lebih layak jual,” kata Robert. (data dibantu poltak tarihoran)
 

 

* Uang Republik Tapanuli dan Mesin Cetaknya

Foto Mesin Cetak ORITA yang masih ada di Sibolga, Sumatera Utara

Mesin Cetak ORITA Itu Tinggal Kenangan


Ada kebanggan tersendiri bagi masyarakat Tapanuli, dimana pada masa keresidenan dahulu, wilayah Tapanuli sudah dipercaya pemerintah saat itu untuk mencetak mata uang sendiri, yang diberi nama ORITA (Oeang Repoeblik Tapanuloe). Munculnya kepermukaan tentang uang ORITA ini atas envestigasi Jason Gultom selaku wartawan harian METRO TAPANULI. Dimana waktu itu METRO TAPANULI memberitakan bukti-bukti sejarah perjuangan masyarakat Tapteng untuk melawan Belanda khususnya yang ada di Kecamatan Sitahuis dan Desa Nagatimbul Kabupaten Tapanuli Tengah , respon pembaca metro sangat antusias, hal itu dibuktikan dengan adanya laporan dari pembaca METRO tentang keberadaan mesin cetak uang ORITA sebagai mata uang Republik Tapanuli waktu itu. Salah seorang pembaca METRO TAPANULI, Bagdani Siregar (62) warga Pasar Belakang Kecamatan Sibolga Kota menghubungi Kantor METRO untuk memberitahukan bahwa mesin cetak ORITA masih ada dirumahnya. Mendapat informasi tersebut, awak METRO langsung turun kekediaman Bagdani.
Menurut penuturan Bagdani Siregar kepada METRO mengatakan, mesih cetak tersebut adalah milik sahabatnya Horas Siregar yang merupakan putra pemilik percetakan Philemon Bin Harun Siregar.
“Tahun 2004 lalu kami bersama Horas Siregara sudah sepakat kerjasama untuk membuka percetakan dengan menggunakan mesin cetak uag ORITA. Hanya saja waktu itu itu keadaan mesin cetak ini sudah tua jadi kecepatannya sudah berkurang dibandingkan dengan mesin cetak yang baru. Atas kesepakatan bersama kami putuskan untuk merememajakan mesin cetak tersebut dengan meminta bantuan dari Wali Kota saat itu. Hanya saja Wali Kota mengatakan, bahwa Pemko Sibolga tida memiliki museum untuk menyimpan mesin cetak tersebut,”akunya.
Karena usulan kami tidak diterima Wali Kota saat itu lanjut Bagdani, akhirnya kami mengajukan proposal ke Bank Indonesia Sibolga. Saat itu pihak Bank Indonesia besedia dan sudah turun ke tempat ini untuk melakukan pengecekan dan mengambil foto mesin cetak tersebut, Pihak BI waktu itu berjanji akan berusaha membantu. Namun setelah ditunggu sekain lama tidak ada hasil, dan akhirnya teman saya Horas Siregar berangkat ke Jakarta langsung ke Bank Indonesia. Menurut keterangan BI Jakarta, harus ada klise uang ORITA sebagai bukti bahwa mesin tersebut pernah mencetak uang ORITA. Padahal waktu itu klise uang ORITA terbuat dari serat kayu dan itu tidak bisa lagi ditemukan. Sejak itulah teman saya Horas Siregar tidak pulang lagi ke Sibolga ini sampai sekarang.
“Karena tidak ada kepastian, akhirnya mesin cetak ini dititip kepada saya sampai sekarang, karena saya memiliki gudang yang lumayan lebar sehingga bisa menyimpan alat-alat mesin percetakan,”terangnya.
Lebih lanjut dikatakan Bagdani, setelah membaca berita METRO tentang tulisan uang ORITA saya langsung teringat dan tentang keberadaan mesin cetak ini, makanya saya langsung menhubungi METRO, agar masyarakat tahu dan juga pemerintah bisa memberikan perhatian akan keberadaan mesin cetak yang memiliki sejarah berharga ini.
“Sebenarnya saya tidak tahu banyak tentang keberadaan mesin cetak uang ini, karena yang mengetahui sejarah tersebut adalah orangtua teman saya, Bapak Philemon Siregar, karena merekalan pertama kali yang memiliki percetakan di Sibolga ini. Karena tidak ada yang memperdulikan, mesin cetak ini kamipun menyimpannya begitu saja di gudang ini,”akunya.
Hasil amatan METRO mesin pencetak uang ORITA ini masih tampak bagus, hanya saja sudah banyak pelaratannya yang berkarat. Mesin cetak tersebut terdidi dari tiga bagian, dan ketigany masih tersimpan digudang milik Bagdani Siregar. Sedangkan uang ORITA hasil cetakan mesin tersebut masih ada tertinggal disana sebagai barang bukti, yaitu uang pecahan 500rupiah yang dicetak pada tanggal 5 Januari 1947-1949 nomor seri 45917. Sedangkan pada bagian mesin cetak tedapat tulisan The Chandler and price co Cleveland, ohic USA.
Selain uang pecahan 500 rupiah juga terdapat pecahan uang satu rupiah yang dicetak pada tanggal 25 September 1947, dengan bukti surat keterangan dari Keresidaenan Tapanoeli.
Kepada METRO Bagdani Siregar mengharapkan, agar pemerintah khususnya Pemkab Tapteng dapat memperhatikan keberadaan mesin cetak tersebut, karena jasa mesin tersebut telah dirasakan masyarakat Tapanuli pada masa penjajahan. Selain itu percetakan uang ORITA berlangsung dulunya di Sitahuis, dan itu merupakan bagian wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah.
“Kami berharap agar Pemkab Tapteng menanggapi keberadaan mesin cetak uang ORITA ini sehingga tidak terlantar seperti sekarang ini, karena mesin cetak ini sudah permah memerima pengharagaan berupa piagam dari menteri Pariwisata RI yang menyatakan mesin ini adalah mesin pencetak uang ORITA,”harapnya.

* ORITA (Oeang Repoeblik Tapanoeli)

Sejarah Uang ORITA Dari Mata Uang ORI, ORIPS, Sampai ORITA
Sejarah keberadaan ORITA (Oeang Repoeblik Indoesia Tapanoeli) yang dicetak di Siahuis Kecamatan Sitahuis Kabupaten Tapanuli Tengah kini semakin jelas keberadaannya. Berdasarkan hasil investiasi METRO keberbagai sumber, salah satunya kepada putra kandung pencetak uang ORITA Bistok Siregar yang kini masih tinggal di Sibolga yaitu Eben Siregar ( 47) dan juga cucu Pahlawan Nasional asal Sibolga Dr Ferdinand Lumbantobing, Berlin Tobing (38). Dari hasil wawancara METRO Sabtu (7/4) di kediamanan Rumah Sang Pahlawan dan juga dikediaman Eben Siregar menyebutkan, bahwa sebelum ORITA dicetak sudah ada jenis uang sebelumnya, yaitu ORI (Oeang Repoeblik) dan ORIPS (Oeang Repoeblik Indonesia Poelau Sumatera). Menurut Berlin cucu Pahlawan Nasional Dr Ferdinand Tobing, tentang sejarah ORITA sudah dituliskan sang Pahlawan dalam sebuah buku yang berjudul Pahlawan Kemerdekaan Nasional Dr Ferdinand Lumbantobing Patriot Pembela Republik. “Agar saya jangan menceritakan, lebih baik anda membaca isi buku ini,”katanya sembari memberikan buku tersebut. Dalam buku terbitan tahun 1997 itu dijelaskan, walaupun Jepang sudah kalah dan Republik Indonesia sudah berdiri, namun mata uang yang beredar waktu itu masih mata uang Jepang yang telah berlaku sejak zama pendudukan Jepang sampai tahun 1944. Setelah Indonesia merdeka tahun 1945 barulah Pemerintah Pusat Republik Indonesia mengeluarkan alat pembayaran sendiri, yaitu Oeang Repoeblik atau disingkat dengan ORI. Sejak bulan Oktober 1946, Oeang Repoeblik (ORI) sebagai alat tukar yang baru pengganti uang Jepang. Uang ORI sudah diedarkan ke Sumatera dengan nilai tukar 1:100 antara ORI dengan uang Jepang Yen. Namun demikian persediaan alat tukar ORI yang diterima di Sumatera tidaklah mencukupi. Untuk mengatasi masalah tersebut, Gubernur Sumatera yang berkedudukan di Pematangsiantar sesuai dengan maklumat Gubernur tanggal 8 April 1947, mencetak uang khusus untuk Sumatera yaitu Oeang Repoblik Indonesia Poelau Soematera atau disingkat dengan ORIPS. Tetapi itupun belum memadai, karena setiap Daerah Keresidenan harus membiayai sendiri gaji pegawai termasuk Polisi,Tentara, dan untuk keperluan kantor, obat-obatan dan lain-lainnya. Sejak itu beberapa daerah lainnya mendesak agar diizinkan untuk mencetak mata uangnya sendiri-sendiri. Sementara itu seluruh daerah keresidenan di Sumatera sangat terdesak oleh kekurangan uang untuk membiayai pelaksanaan pemerintahan dan pertahanan di daerahnya masing-masing, serta guna memperlancar roda ekonomi daerah. Setelah Agresi Militer yang pertama dimana Pemerintah Provinsi Sumatera mengungsi dari Pematangsiantar ke Bukit Tinggi, maka percetakan dan persediaan ORIPS juga berantakan karena Pematangsiantar sudah diduduki musuh. Akibatnya Pemerintah Provinsi tidak mampu lagi memasok persediaan uang untuk belanja pemerintah Keresidenan. Menghadapi situasi yang tidak menentu itu maka Residen Tapanuli telah meminta persetujuan Gubernur agar diizinkan untuk mencetak uang sendiri bagi kebutuhan Tapanuli. Gubernur setuju dan memberikan kuasa syah untuk Tapanuli saja. Uang itu disebut Oeang Repoeblik Indonesia Tapanoeli atau disingkat ORITA. Percetakan uang ORITA itu dilakukan di Aek Sitahuis yang disebut juga sebagai Sibolga II, dimana daerah Sitahuis sudah dipersiapkan menjadi Kota candangan ibu kota Tapanuli, jika Sibolga (yang disebut Sibolga I) diserang musuh. Untuk percetakan uang ORITA tersebut diangkutlah mesin cetak dari Percetakan Philemon bin Haroen Siregar yang ada di Sibolga ke Aek Sitahuis. Oleh karena dizaman revolusi Indoesia masih kekurangan maka tentu saja uang ORITA itu tidak seperti uang zaman sekarang. Kertanya sederhana dan tintanyapun bukanlah yang waterproof. Kadang-kadang setelah dicetak perlu dijemur lebih dahulu, agar cetakannya cepat kering, karena yang membutuhkan uang tersebut sudah antri menunggu. Banyaknya uang dicetak tidaklah semaunya sendiri tetapi didasarkan pada otoritas dari Pemerintah Provinsi kepada Pemerintah Kresidenan. Dan untuk pengawasan pengeluarannya, setiap lembar uang ORITA ditandatangani oleh seorang pejabat keuangan yang ditunjuk oleh Residen. Khusus diwilayah Keresidenan Tapanuli Dr Ferdinand Tobinglah yang menandatanganinya. Walaupun proses penecatakan dan pengluaran ORITA itu sangat sederhana saja namun pada waktu itu tidak pernah ada kedengaran yang berbuat curang atau korupsi. Semua pegawainya bersifat jujur dengan bertanggungjawab, karena Residen Tapanuli Ferdinand Tobing sebagai atasannya juga sangat jujur dan penuh tanggungjawab dan tidak pernah berbuat yang menguntungkan kepribadiannya atau keluargaanya. Semuanya berjalan diatas rel kejujuran dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku sehingga terciptalah pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Namun pada masa Agresi Militer Belanda kedua, ketika Belanda tiba di Aek Sitahuis percetakan itu belum sempat dipindahkan. Oleh Belanda percetakan itu disegel dan tidak boleh dibuka dan disuruh dijaga polisi kita yang tinggal di di Aek Sitahuis dengan ancaman akan ditembak jika barang-barang yang disegel itu hilang. Tetapi pada malam harinya pemuda-pemuda PRS ( Pertahanan Rakyat Semesta) Aek Sitahuis bersama Aek Raisan membongkar segel Belanda tersebut dan semua barang-barang pemerintah Keresidenan dan Dewan Pertahanan termasuk mesin cetak ORITA itu diangkut kepedalaman. Kemudian mesin-mesin cetak itu ditempatkan disuatu tempat yang dirahasiakan dipedalaman sebagaimana yang ditentukan wakil Komandan Sub Teritorial VII Letkol W Siahaah. Pada pertengahan bulan Feburari tahun 1949 percetakan itupun telah berhasil kembali mencetak ORITA yang diperlukan oleh pemerintah dan pasukan gerilya TNI di pedalaman.

* Tahukan Anda Cerita Lagu BUTET?


Di Gua Nagatimbul Lagu Butet Diciptakan


Butet…Dipangunsian do amangmu ale butet..., namargurilla da mardarurat ale butet… Itulah penggalan lagu perjuangan yang cukup terkenal sampai saat ini. Namun tidak semua orang tahu bahwa lagu tersebut sudah mengalami pergesaran syair, dan tidak semua juga orang tahu kalau lagu itu diciptakan di Gua Nagar Timbul yang letaknya berada di tengah Hutan Naga Timbul, Kecamatan Sitahuis Kabupaten Tapanuli Tengah. Guan itu lah yang pertama kali menjadi saksi berkumandangnya lagu BUTET.
Lantas bagimana sebenarnya isi sayir lagu Butet itu? Menurut pengakuan warga Nagatimbul dan juga warga Sitahuis sewaktu dijumpai METRO beberapa waktu lagu menjelaskan, bahwa syair asli lagu Butet itu adalah seperti berikut. “Butet…di Sitahuis do Amangmu ale Butet…damancentak hepeng Orita ale Butet…damancetak hepeng Orita ale Butet.
Memang sampai saat ini tidak diketahui siapa pencipta lagu tersebut, hal itu dibuktikan dalam sampul kaset atau lagu yang sering dinyanyikan pada saat menjelang kemerdekaan yang nama penciptanya ditulis NN. Namun menurut pengakuan warga Sitahuis dan Desa Nagatimbul bahwa lagu itu dinyanyikan br Tobing warga Sitahuis sewaktu menina bobokan borunya (Butet dalam bahasa batak).
“Menurut sejarah, bahwa lagu Butet itu dinyanyikan di Gua perjuangan yang terdapat di hutan Nagatimbul ini, dimana masyarakat Sitahuis dan Nagatimbul bersembunyi di gua tersebut, sementara kaum pria waktu itu berada di Sitahuis untuk berjaga-jaga dan sebagian ada yang mencetak uang ORITA (Oeang Republik Tapanoloe, yang merupakan ejaan lama). Dimana waktu itu tempat percetakan uang ORITA adalah di Sitahuis. Sewaktu putri br Tobing ini yang disebut Si Butet mau tidur ibunyapun menina bobokannya dengan lagu Butet,”aku sejumlah warga Desa Sitahuis dan Nagatimbul.
Masih seputar penjelasan warga, setelah Sitahuis dikuasi Belanda dan menjadikan Desa Sitiris yang masih satu Kecamatan dengan Sitahuis menjadi markas Belanda, percetakan uang Orita itupun dibakar sibontar mata (sebutan bagi Belanda) namun mesin cetak uang tersebut masih sempat diselamatkan dan dibawa kedalam gua perjuangan di hutan Nagatimbul. Aktivitas percetakan uangpun sempat berlanjut di gua tersebut, namun sangat disayangkan bahwa mesin cetak uang itu tidak diketahui dimana keberadaannya sekarang ini.
“Kami tidak tahu lagi kemana mesin cetak tersebut dibawa para pejuang kita dulu, hanya saja menurut sejarahnya di gua perjuangan yang berada di hutan Nagatimbul masih sempat dicetak uang ORITA sebagai alat tukar yang sah waktu itu. Makanya Belanda terus mengejar dan berusaha untuk mengambil percetakan tersebut. Namun sangat disayangkan mesin cetak itu sampai saat ini tidak diketahui dimana keberadannya, apakah berhasil dibawa Belanda atau tidak,”aku Kepala Desa Nagatimbul R Pasaribu.
Awak koran inipun terus menelusuri tentang lokasi percetakan uang ORITA yang berada di Sitahuis yang saat ini sudah menjadi Kecamatan Sitahuis. Usaha METROpun tidak sia-sia, dimana lokasi percetakan tersebut berhasil ditemukan di rumah Andareas Aritonang. Menurut pengakuan Camat Sitahuis Joseph dan juga pemilik rumah yang berada dikawasan perkantoran Camat Sitahuis dan warga Sitahuis membenarkan bahwa di rumah Andareas Aritonang uang ORITA tersebut dicetak.
“Memang benar inilah rumah yang menjadi bukti sejarah tempat dicetaknya ORITA, memang rumah ini sudah mengalami pemugaran namun hanya bagian depan saja, itupun kami jadikan sebagai warung, sedangkan pada bagian tengah rumah dan loteng rumah ini masih bawaan rumah dulu. Dan diruang tengah inilah uang tersebut dicetak,”aku T br Simatupang (Op Jesri) saat ditemui METRO dikediamannya di Sitahuis.
Lebih lanjut Op Jesri yang sudah berusia 81 tahun ini menuturkan, Belanda terus mencari dimana lokasi percetakan uang ORITA, karena dengan adanya uang ORITA, maka uang Belanda tidak berlaku waktu itu, akunya. Namun sangat disayangkan bahwa uang tersebut tidak adalagi dimiliki Op Jesri dan juga keluarganya.
“Memang dulu ada saya simpan, tapi saya tidak terfikir bahwa uang itu akan berarti nantinya, makanya keberadaan uang tersebut tidak terlampau kami pedulikan saat itu,”kata Op Jesri.
Op Jesri juga tidak mengingat lagi kapan uang tersebut dicetak di Sitahuis, demikian juga dengan warga sekitarnya, mereka hanya mengingat bahwa dirumah Andareas Aritonang uang ORITA dicetak, sedangkan dibagian depan rumah tersebut duluny ada gudang yang menjadi tempat penyimpanan barang-barang percetakan dan juga peralatan perang pejuang Tapanuli dulunya.
Sekarang kawasan tersebut suda berdiri rumah tinggal penduduk, termasuk dilahan yang dulunya gudang sudah menjadi rumah penduduk, sedangkan dikawasan sekitarnya sudah berdiri kantor Camat Sitahuis. Warga juga berharap agar bukti-bukti sejarah yang masih tertinggal dapat dirawat dan dilestarikan, karena suatu saat hal itu menjadi bukti sejarah yang sangat berarti bagi generasi berikutnya, apalagi Propinsi Tapanuli sudah terwujud nantinya akan menjadi sejarah baru bagi Propinsi Tapanuli yang kita harapkan dapat segera terwujud, harap warga. (***)

* Spritual

Melirik Ritwal Agama Malim
di Balige
Acara ritual yang biasa dilakukan di komunitas Malim SiJangkon uras untuk mendoakan, dan untuk memohon sesuatu kepada Debata Mulajadi Nabolon (Tuhan Yang Maha Esa). Yang menjadi thema dalam acara yang baru-baru ini dilaksanakan di makam Raja Sisinga Mangaraja ke XII di Balige, Tobasa, adalah agar adat dan hukum dapat tertata dengan baik jangan rusak dan betul-betul dilakukan. Dengan tertatanya Adat dan Hukum dapat menjadi kemajuan terutama di Bangso Batak seperti pepatah Batak yang mengatakanJumpang “Naniluluan dapot nanijalahana itu akan tercapai apabila adat dan hukum tertata dapat dijalankan dengan baik”.
Acara ritual ini dilaksanakan atas persetujuan dari kaum komunitas Malim yang sudah sepakat untuk meminta doa kepada Debata Mulajadi Nabolona sesuai kesepakatan raja-raja dan inang soripada, dengan Martonggo apa yang diminta semoga dapat dikabulkan. Pasalnya saat ini sudah banyak terjadi musibah bencana alam seperti Tsunami, bencana longsor dan Gunung berapi meletus. Walau pun bencana tersebut tidak terjadi di Daerah Tobasa, Balige, namun komutas Malim turut iktu merasakan atas musibah yang dialami sesama umat manusia diBumi ini. Oleh karen itu komunitas Malim Si Jangkon Uras berdoa kepada Debata Mulajadi Nabolon agar permohonan mereka dapat dikabulkan.
Uluan (pimpinan) Ritual dipimpin oleh Op. Dongguk Siahaan dari berbagai Desa yakni Panamparan, meranti tegah, Batu mamak, Pintu pohan Meranti dabn lainya sekira Ratusan orang. Ritual ini sejak pagi hari dilaksanakan, mulai persiapan bahan untuk persembahan kepada Debata Mulajadi Nabolon melalui Op Sisingamangaraja XII. Setelah bahan dipersiapkan, terlebih dahulu meminta ijin kepada Op Sisingamangaraja XII yaitu dengan membawa bahan untuk persembahan seperti aek mual natio (air bersih), jeruk purut, dan lainnya yang diperlukan pada acara ritual itu ke makam Op. Sisingamangaraja XII.
Biasanya pada acara ritual Martonggo ini, para penganut kepercayaan Malim turut mempersembahkan hasil bumi mereka untuk disajikan dan seraya berdoa agar kaum komunitas Malim dapat diberikan kesehatan dan mendapat hasil panen yang berlimpah dan dijauhkan dari bala.
Menurut pemaparan Op. Dongguk Siahaan, Malim pada umumnya ada dua, yakni secara fisik dapat dilihat dengan pakaian hitam dan topi hitam, dan topi putih. Malim itu sendiri memiliki arti suci, yang diterjemahkan suci dari penglihatan, pendengaran, pikiran, dan jiwa raga. “Sesuai aliran kepercayaan yang kami anut, bahwa Malim itu menjalankan kepercayaan religiusnya dengan melaksanakan ritwal dengan menggunankan musik gochi dan diiringi sarune untuk memanjatkan doa kepada Debata Mulajadi nabolon,”terannya.
Ditambahkan Op Dongguk Siahaan bahwa ada pun jenis Parmalim yakni Parmalim partali-tali Nabottar dan pratali-tali nabirong. Partali-tali nabottar ada di Laguboti Huta Tinggi, dan Tanoh Datar Parbongoran. Golongan Raja Batak dari kaum Kristen, Muslim dan Budha lainnya bisa masuk si Raja Batak. Tapi kalau aliran kami ini tidak bisa masuk dari aliran lain kecuali aliran Malim itu sendiri, itu bedanya. Contoh Aliran Sisingamangaraja XII sampai kepada pengikutnya seperti kami ini. Aliran tangga-tangga kuasa dalam suatu golongan seperti partangiang, panuturi, Panitangi dan parbaringin. Namun dalam aliran kami sudah tidak ada yang sanggup untuk menjalankan tugas dari aliran parbaringin, namun di komunitas lain parbaringin itu ada. Sesuai ajaran Sisingamangaraja XII adat parmalim kami Si jangkon Uras menggunakan lambang Gantang (timbangan), yang artinya, tidak bisa menyogok dan di sogok.

* Peristiwa

Olo Panggabean Dipastikan Meninggal Dunia
INILAH.COM, Medan

Tokoh pemuda Sumatera Utara Olo Panggabean dipastikan telah meninggal dunia, di Medan, Kamis (30/4). Hal itu, setelah salah seorang anggota keluarganya membenarkan hal tersebut.
R Panggabean, salah seorang kerabat dekatnya menyatakan, Olo memang benar tiba hari ini dari Singapura dalam keadaan kritis. "Siang ini Olo tiba dari Singapura dalam keadaan kritis. Namun, setibanya di Rumah Sakit Gleni Medan, tak lama kemudian, sekitar pukul 14.15 WIB, ia meninggal dunia," jelasnya, seperti dikutip Waspada Online.
Olo dirawat di salah satu rumah sakit di Singapura setelah menderita komplikasi atas penyakit gula yang telah lama dideritanya. Atas permintaan keluarganya, semasa ia sedang menghadapi masa kritis, Olo dipulangkan ke kampung halamannya. Hingga kini, jenazahnya masih berada di RS Gleni Medan.
Olo lahir di Tarutung pada 24 Mei 1941. Selain dikenal sebagai tokoh pemuda berpengaruh, pemilik sejumlah usaha, ia juga dekat dengan kalangan pejabat sipil dan militer di Sumut. (Sumber Inilah.com)
Keterangan Foto:
Tokoh Pemuda Sumut, Olo Panggabean semasa hidup, sewaktu diulosi di Kabupaten Humbahas.

* Sosial

Bintek PKH Bidang Pendidkan&Kesehatan
Wakbup Tapteng: Koordinasi Antar Instansi dan Pihak Terkait Kunci Kesuksesan Program
Pandan Batak Pos,

Wakil Bupati (Wabup) Tapanuli Tengah Ir. H. MA Effendi Pohan secara resmi membuka bimbingan Teknik (Bintek) service provider pelayanan kesehatan dan pendidikan sesuai Program Keluarga Harapan (PKH) tahun 2009 di Kabupaten Tapanuli Tengah.
Bintek yang diikuti sedikitnya 69 peserta ini, terdiri dari kalangan dokter Puskesmas, Dinas Pendidikan serta pendamping PKH tingkat kecamatan, Dinas Sosial Tenaga Kerja dan Transimigrasi Tapteng dilaksanakan di audio visual SMAN I Matauli Pandan, Senin (4/5). Turut sebagai narasumber dari tim UPPKH pusat dan Pemprovsu, diantaranya Leni Brida dan Mohammad Thamrin serta Barita Sihite (Pemprovsu).
Wakil Bupati Tapteng secara tegas menginstruksikan instansi dan pihak yang terkait pada program PKH agar melakukan kordinasi antar stakeholder dan terus melakukan evaluasi secara priodik, sehingga pelaksanaan PKH di Tapanuli Tengah berjalan sebagaimana yang diharapkan hingga mendapat kesusksesan. “Ini perlu dicermati dan dilakukan kordinasi secara baik, agar program ibi berjalan sesuai harapan bersama,” tegas Effendi Pohan.
Di kesempatan itu, Ia juga mengatakan, pemerintah pusat telah memberikan bantuan kepada masyarakat yang tergolong dalam masyarakat miskin. Untuk tahun ini, masyarakat Tapanuli Tengah mendapat PKH yang ada di 15 kecamatan, sementara pada tahun 2008 penerima bantuan PKH di Tapteng hanya 8 kecamatan. Akan tetapi tahun ini, pemerintah pusat membuat penambahan bantuan kepada Rumah Tangga Sangat Miskin (RTSM) untuk 7 kecamatan di Tapteng.
Program PKH merupakan program penanggulangan kemiskinan kepada RTSM melalui ketentuan dan persyaratan terkait dengan upaya pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) untuk mensekolakan anak usia wajib belajar, memeriksakan kesehatan dan memberikan makanan bergizi kepada anak-anak RTSM.
Lebih lanjut Wakil Bupati mengatakan, sasaran PKH adalah RTSM yang memiliki anak usia sekolah 6 – 15 tahun atau kurang dari 18 tahun tetapi belum menyelesaikan pendidikan dasar. “Tak hanya itu, bagi RTSM yang memiliki anak usia 0 – 6 tahun mendapat pelayanan kesehatan dan memdapat pemantauan tumbuh kembang usia prasekolah, bagi ibu-ibu hamil mendapat pemeriksaan minimal 4 kali semasa kehamilan, proses kelahiran dan mendapat kunjungan setelah melahirkan oleh pihak kesehatan,” tuturnya.
Menurut Wakil Bupati, akhir-akhir ini program PKH mendapat suara-suara sumbang dari beberapa kalangan yang melihat bantuan PKH dari sisi kelemahanya saja, sedangkan sisi kebaikan dan manfaatnya bagi masyarakat miskin justru di kesampingkan, ujar Effendi Pohan.
Hal ini, menurut dia, karena sebagian orang tergesa–gesa menyempaikan opininya yang kurang pas kepada public, sehingga menimbulkan kecemburuan yang berdampak pada penolakan bantuan PKH.
Sementara itu, Kadis Sosial Tenaga Kerja dan Transmigrasi Tapteng H. Zafril Abdi Nasution, SE, MSi laporanya menegaskan, maksud dan tujuan pelaksanaan PKH untuk mengoptimalkan pelaksanaan kegiatan verifikasi PKH terhadap pelayanan kesehatan dan pendidikan yang menjadi kunci keberhasilan program ini di daerah khususnya di Tapteng.
Sementara, Ny. Leni Brida dalam pemaparannya, pada hakekatnya pelaksanaan PKH di lapangan ada aktivitas verifikasi komitmen sesuai ketentuan kelayakannya. Artinya, penerima santunan PKH harus benar-benar tepat sasaran, yakni keluarga sangat miskin.
“Nah, dalam hal ini merupakan tugas berat sebagai petugas pendamping masyarakat di tiap kecamatan yang telah ditetapkan. Sementara, untuk evaluasinya, dilakukan secara periodik antara pendamping lapangan dengan instansi terkait (Dinas Pendidikan dan Kesehatan) serta Dinas Sosial setempat,” jelasnya. 

Keterangan Foto :
PAPARKAN : Ny. Leni Brida dari Program Keluarga Harapan (PKH) didampingi Wabup Tapteng Ir. H. MA Effendi Pohan dan Kadis Sosial Tapteng Zabril Nasution saat memberikan pemaparan dihadapan 69 peserta Bintek service provider pelayanan kesehatan dan pendidikan program PKH di audio visual SMAN I Matauli Pandan, Senin (4/5).

* Gadis Tapteng Jadi Bintang KDI 6

Nur Givri Yati Waruwu Bintang KDI 6
Lahir Dari Keluarga Yang Sederhana


Nur Ghivri Yati Waruwu, itulah nama gadis cantik kelahiran Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara 17 tahun yang lalu. Kini nama itu tidak asing lagi bagi masyarakat Indonesia, khususnya pencita musik dangdut di tanah air. Dimana berkat usaha dan dukungan dari masyarakat luas, kini Givri panggilan akrab gadis manis itu sedang bertengger di 9 besar Kontes Dangdun Indonesia 6, (KDI 6) yang disiarkan salah satu stasiun televisi swasta.
Lantas bagaimana kehidupan orangtua Givri? Berikut ini hasil penelusuran wartawan BATAKPOS, Jason Gultom ke kediaman orangtuanya di Jalan Padangsidimpuan, Pandan, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, Jumat (26/6).
Siang itu suasana rumah orangtua Givri ramai pembeli, karena orangtuanya membuka usaha kecil-kecilan yakni jual sepatu dan alat-alat kosmetik. Sementara ayahnya Chairul Hidayat Waruhu (36) dan ibunya Mastika Yanti br Simanungkalit (35) beserta adiknya Givri, Nisa (16) sedang berbicang-bincang di ruang tengah. Kehadiran wartawan koran ini pun disambut baik oleh kedua orangtua Givri. Ditemani minuman dingin, orangtua Givri pun mengawali cerita kehidupan rumah tangga mereka.
“Givri lahir dari keluarga yang sangat sederhana. Saya adalah anak ke 5 dari 11 bersaudara, sedangkan istri saya anak ke 5 juga dari 7 berkeluarga. Kami mulai membina bahtera rumah tangga tahun 1990. Maklum saja, kami kawin muda, karena setelah tamat SMA saya langsung menikah dengan istri saja ini, dan kami pun tinggal di Padangsidimpuan. Karena keadaan ekonomi yang serba sulit, saya pun bekerja sebagai kuli pikul di Pasar Sidimpuan. Karena hasilnya tidak mencukupi, saya pun alih profesi sebagai tukang becak barang,”ujar pria berkumis itu.
Karena tanda-tanda kehidupan tidak jelas di Padangsidimpuan, akhirnya mereka pun pindah ke Pandan Tapteng, atas panggilan mertuanya. Tepatnya tanggal 3 Januari 1992, anak pertama merekapun lahir, yaitu Nur Ghivri Yati Waruwu di Pandan Tapteng. Demi untuk menghidupi keluarga dan anaknya, Ayah yang hobby seni ini bekerja sebagai kondektur angkot. Namun naas, baru tiga bulan sebagai kondektur, angkot yang dikondekturinya terbakar. Akhirnya Ia pun bekerja di toko milik orang china di Sibolga, namun gajinya tidak mencukupi untuk mengihupi Givri dan ibunya. “Waktu itu saya diberi upah hanya Rp15ribu seminggu,”kenangnya.
Ia pun tidak mau pasrah dengan keadaan, kerja apa saja yang penting halal, itulah motto hidupnya. Melihat ada peluang bekerja di Panglong, Ia pun bekerja disana, kebetulan ada pesanan untuk membuat peti Pemilu. Karena sudah sepi orderan, Ia pun kembali menganggur. Karena prihatin melihat kehidupan mereka, kakeknya Givri pun memberikan suntikan modal, agar mereka membuka kantin disalah satu perkantoran di Pandan. Namun usaha itu hanya mampu bertahan 1 tahun.
Usia Givri pun terus beranjak, sementara hasil dari usaha yang dikerjakan selama ini hanya pas-pasan untuk makan sehari-hari. Berkat bantuan dari keluarga, mereka ditawarkan untuk bukan usaha kantin di Pelabuhan Gunung Sitoli Nias. “Waktu itu ada keluarga kami yang bekerja di Pelabuhan Gunung Sitoli, Nias, kami pun ditawari buka kantin disana. Karena prospeknya lumayan, kamipun berangkat ke Gunung Sitoli, sementara Givri kami tinggalkan di Pandan bersama dengan neneknya,”ujar pria berkulit putih ini.
Karena izin kontraknya hanya 5 tahun di Pelabuhan Gunung Sitoli, mereka kembali ke Pandan. Bermodalkan keuntungan sedikit selama bukan kantin di Pelabuhan Gunung Sitoli, mereka membuka warung sayur di Pandan. “Saat itu usia Givri 6 tahun dan sudah masuk SD. Sejak duduk di bangku Sekolah Dasar itulah bakat anak kami ini sudah terlihat dibidang tarik suara. Ia sering tampil setiap ada acara kawinan dan acara lainnya yang digelar di Pandan. Karena orang senang melihat keberanian Givri, Ia pun sering disumbang. Dan hasil sumbangan itu lah yang kami gunanakan untuk membeli kebutuhan Givri selama sekolah. Bahkan sisanya bisa kami gunakan untuk menambah modal usaha sayur kami,” aku kedua pasangan serasi ini dengan mata berkaca-kaca.
Seiring dengan bergulirnya waktu, Givri pun semakin sering tampil di panggung, bahkan setiap ada kontes, Givri tidak pernah ketinggalan untuk berlaga. Hasilnya pun cukup memuaskan, karena dari sekian banyaknya kontes yang diikutinya dia selalu keluar sebagai jawara. “Menang bakat alami anak kita ini sudah terlihat sejak kecil, makanya setiap ada kontes Ia selau ikut. Namun kecemerlangan prestasi anak kami ini tidak selalu sejalan dengan keberuntungan usaha kami. Karena setelah Givri tamat SD, usaha sayur kami bangkrut. Saat itu saya dengan ibunya sudah pasrah apakah si Givri bisa lanjut ke SMP atau tidak,”kenang pasutri ini dengan linangan air mata.
Namun selalu ada jalan yang ditunjukkan Sang Pencipta bagi kelanjutan kehidupan keluarga ini. Disaat kondisi perekonomian lagi down, Givri menang kontes Dangdut tingkat anak-anak se Tapanuli yang diselenggarakan oleh Iman Syafe’i di Pantai Indah Kalangan, Pandan. Dari hasil itulah Givri dapat melanjutkan pendidikannya ke tingkat SMP.
Melihat bakat anaknya, orangtuanya pun senang dan bangga, hanya saja tidak mungkin keluarga ini sepenuhnya berharap dari hasil kontes Givri untuk membiayai mereka, ditambah lagi tuntutan ekonomi untuk biaya adik Givri, Nisa yang sudah masuk sekolah. Denganmodal nekat, mereka pun menjual rumahnya untuk membuka usaha door smeer. Melihat semangat suaminya, ibunya Givri pun tidak tinggal diam, wanita berparas cantik itupun membuat kue untuk dititipkan ke warung-warung yang ada di Pandan.
“Biar sedikit asalkan lancar itulah komitmen kami saat itu. Alham dulillah dari hasil usaha itu, kami pun bisa membuka kios ponsel dan usaha jual sepatu serta alat-alat kosmetik sampai saat ini,”ujar ibu Givri.
Givri ini anaknya baik, dan tidak pernah menyusahkan kami, lanjut orangtua Givri. Hanya saja dia tidak bisa dibentak, karena kalau dia dibentak, maka dia akan semakin bigung dan tidak tahu apa yang akan dilakukannya. “Kami tahu persis keadaan putri kami ini, memang kalau dia salah tidak bisa dibentak, karena dia akan semakin bigung. Namun sebaliknya, kalau kekurangannya dikasih tau dengan cara lembut, ia justru lebih cepat dari yang kita harapkan. Makanya kalau setiap mbak Berta memberikan komentar kepada Givri dengan nada keras, maka Givri akan bingung. Mungkin karena usia Givri yang masih relatif muda,”kata kedua orangtuanya.
Dan kami senang dengan kritikan dari mbak Berta kepada anak kami, sambungnya. Karena kami tahu bahwa kritikan itu sebagai wujud kecintaan mbak Berta kepada Givri agar kelak Givri menjadi bintang KDI yang sejati, tandasnya.
Lebih lanjut dikatakan ibu tiga anak ini, bahwa perjuangan Givri untuk masuk kontes KDI tidak kenal lelah. Karena tahun 2007 lalu Givri sudah ikut kontes KDI 5, namun ia hanya lolos 15 besar. Barulah di kontes KDI 6 ini, dewa fortuna berpihak kepa keluarga Givri sehingga ia lolos di 9 besar KDI 6 saat ini. “Ini semua berkat dukungan dan partisipasi semua lapisan masyarakat khususnya masyarakat Tapteng, Sibolga dan Nias sebagai basis Givri. Kami mengucapkan terimakasih yang sebesar-besarnya buat Pemkab Tapteng, Pemko Sibolga, para pencinta Givri dan juga semua masyarakat Indonesia yang sudah memberikan dukungan kepada anak kita ini. Karena apa yang selalu dikatakan Givri setiap dia tampil, bahwa tanpa dukungan dari semua lapisan masyarakat, Givri tidak ada apa-apanya. Memang itulah apa adanya, kami tidak perlu malu untuk mengatakan keberadaan kami ini, karena dukungan semua lapisan masyarakatlah yang menghantarkan anak kita ini menjadi bintang KDI 6,”ungkapnya dengan wajah terharu.
Untuk itu kami selalumemohon dukungan buat Givri, karena perjuangannya masih panjang untuk menuju peringkat 1 minimal 3 besar. Mari kita dukung anak kita ini, karena setiap Sabtu Malam ia tampil di TPI mulai pukul 19.00WIB, caranya ketik KDI spasi GIVRI kirim ke 6288 sebanyak-banyaknya. Horas.

* Pemerintahan

DPRD Minta Wali Kota Sibolga Jadi Irup HUT Kemerdekaan RI
Sibolga, BATAKPOS

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Sibolga dengan tegas meminta agar Wali Kota Sibolga Drs. Sahat P Panggabean menjadi inspektur upacara (Irup) HUT Kemerdekaan RI ke–64 tepat 17 Agustus 2009 nanti yang dipusatkan di lapangan Simaremare Kota Sibolga. Hal ini sebagai pembuktian kepada masyarakat bahwa Wali Kota Sibolga benar-benar sudah sehat.
Pernyataan ini ditegaskan Ketua DPRD Sibolga Syahlul Umur Situmeang kepada wartawan di gedung dewan, Selasa (11/8) menyikapi isu yang berkembang di tengah masyarakat bahwa Wali Kota Sibolga Drs. Sahat P Panggabean belum sepenuhnya sehat dan beraktifitas mengemban tugasnya.
“Seperti biasanya, Wali Kota bertugas sebagai inspektur upacara HUT Kemerdekaan RI, sementara Ketua DPRD membacakan teks Proklamasi pada saat detik-detik Kemerdekaan Republik Indonesia. Kita (DPRD-red) minta agar Pak Sahat Panggabean melakukan hal tersebut, sehingga isu yang berkembang di tengah masyarakat terjawab secara arif,” tegas Syahlul Situmeang.
Sebab, lanjut politisi asal partai Golkar ini, Wali Kota Sibolga Sahat P Panggabean saat ini sudah aktif bertugas. “Bila tidak, maka pengaktifan kembali Walikota Sibolga tersebut sesuai pemberitaan di sejumlah media massa, tidak benar. Dan ini perlu disikapi bersama sehingga roda pemerintahan benar-benar berjalan efektif,” tuturnya.
Disinggung bila hal tersebut tidak dipenuhi Walikota Sibolga, Ketua DPRD Sibolga menjawab, bahwa isu yang berkembang tersebut berarti benar adanya. “DPRD sendiri telah membentuk tim kordinasi dengan Gubernur Sumut guna meninta petunjuk terkait ketidak hadiran Walikota Sibolga selama kurang lebih 6 bulan, terlebih ketika sidang Paripurna dewan dilaksanakan. Inikan perlu dicermati,” tegas Syahlul lagi.
Sementara itu Informasi yang diperoleh wartawan di gedung dewan, tim kordinasi yang dibentuk DPRD melalui lintas fraksi akan bertolak ke Kegubernuran di Medan, Selasa (11/8) malam. Hal ini dilakukan untuk meminta Gubernur Sumatera Utara H. Syamsul Arifin, SE sesegera mungkin membentuk tim kesehatan yang bersifat independen dari unsur Ikatan Dokter Indonesia (IDI) untuk memeriksa kesehatan Walikota Sibolga, apakah benar telah sehat atau tidak. (Jas)

* Organisasi

PC 0211 FKPPI Tapteng Dilantik

Tapteng, BATAKPOS

Pengurus Cabang 0211 FKPPI Tapanuli Tengah dilantik di aula Kodim 0211/TT di Jalan Sisingamangaraja Sibolga Senin malam (10/8) sekira pukul 20.00 WIB. Pelantikan tersebut dilakukan secara langsung oleh Ketua Pengurus Daerah (PD) II FKPPI Sumatera Utara, H Helmi Hasballah dihadapan Dandim 0211/Tapanuli Tengah, Letkol Inf. M Ritonga yang diwakili Kasdim 0211/TT, Mayor Inf. BML Nababan selaku pembina FKPPI di Tapanuli Tengah.
Ketua PD II FKPPI H Helmy Hasballah dalam kesempatan itu meminta seluruh pengurus memahami pelantikan merupakan amanah dari Munas (Musyawarah Nasional) FKPPI, untuk melakukan konsolidasi organisasi dengan menjalankan program kerja FKPPI secara keseluruhan. Salah satunya, menjauhkan anggota FKPPI dan asrama TNI dari bahaya narkoba. Dia juga mengajak agar pengurus cabang yang baru dilantik menggairahkan kembali FKKPI yang akhir-akhir ini cenderung mengalami kevakuman. ”Organisasi ini, ibarat rumah bagi kita, untuk senantiasa berkumpul bersama-sama, memikirkan apa yang harus kita lakukan untuk bangsa ini,” ujar Helmi Hasballah.
Sedangkan Dandim 0211/Tapanuli Tengah Letkol Inf. M Ritonga saat menyampaikan bimbingan dan arahan yang dibacakan Kasdim 0211/TT, Mayor Inf BML Nababan meminta komitmen kuat seluruh KBT (Keluarga Besar TNI) termasuk FKPPI. Dandim 0211/Tapanuli Tengah Letkol Inf. M Ritonga berharap FKPPI selaku organisasi kemasyarakatan harus benar-benar memiliki visi dan misi memperjuangkan masyarakat. termasuk bisa sinkron dengan Kodim 0211/Tapanuli Tengah, terutama mengenai program-program yang dilaksanakan TNI kepada masyarakat.
Wakil Bupati Tapanuli Tengah, Ir H MA.Effendy Pohan MSi dalam sambutannya menyampaikan bahwa di dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, pemuda selalu menempati peran yang sangat strategis dari setiap peristiwa penting yang terjadi di persada nusantara ini. Memang pada mulanya kelompok-kelompok perjuangan kaum muda itu terbentuk berdasarkan kepentingan lokal, namun dalam perkembangannya lokalisme dan regionalisme justeru berkembang menjadi satu kesatuan sebagaimana yang digambarkan dalam organisasi sosial yang menggunakan nama Pemuda Indonesia, kata Ir H MA Effendy Pohan MSi.
Sementara itu, Ketua PC 0211 FKPPI Tapanuli Tengah yang baru dilantik, ME Surbakti SP dalam sambutannya mengatakan FKPPI ini merupakan sebuah wadah tempat berhimpunnya putra putri TNI. Sangat diharapkan, wadah FKPPI ini merupakan tim tank seluruh keluarga besar FKPPI yang terdiri dari Generasi Muda. “Saya harapkan, ormas ini dapat mendinamisir kegiatan seluruh keluarga besar FKPPI, bersama ormas yang berada di bawah FKPPI. Sehingga sasaran maupun program yang ingin dicapai dapat dicapai dengan hasil yang maksimal,” ujarnya.
Tampak dalam acara pelantikan tersebut, Danlanal Sibolga, Ketua PC FKPPI kota Sibolga, Drs Benyamin Tarigan, Ketua DPD Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Tapanuli Tengah, Imam Syafii Simatupang dan Paduan Suara SMA HKBP Sibolga yang mengisi acara selama pelantikan berlangsung. (Jas)

* Prestasi

YCI Anugrahkan Citra Abdi Nusa 2009 Kepada Drs Marhite Rumapea
Tapteng, BATAKPOS

Yayasan Citra Insani (YCI) menganugrahkan penghargaan kepada Drs Marhite Rumapea atas partisipasi dan sumbangsihnya kepada Negera Republik Indonesia. Penyerahan penghargaan ini dilangsungkan di Friendly Room Hotel Harris Tebet Jakarta, yang diserahka langsung oleh Asisten Deputi Pelayanan Publik Kantor Menpan, Drs Mohammad Rusdi, Sabtu kemarin, (8/8).
Yayasan Citra Insani adalah yayasan yang bergerak di bidang sosial dan peningkatakan sumber daya manusia. Dan dalam rangka HUT RI ke 64 ini, YCI memberikan penghargaan kepada para pejabat pemerintah/swasta dan lembaga yang telah banyak memberikan sumbangsihnya kepada Negera Republik Indonesia.
Ada pun dasar penilian adalah pejabat pemerintah/swasta atau tokoh masyarakat yang telah direfrensikan. Selain itu, telah memberikan sumbangsihnya di bidang pembangunan baik fisikmaupun non fisik, serta dapat menjadi panutan bagi masyrakat baik di wilayahnya maupun di bumi nusantara.
Sementara itu menurut Drs Marhite Rumapea yang juga sebagai Kadis Pendidikan Tapanuli Tengah, (Tapteng) Sumatera Utara, mengaku kaget dan bersyukur atas penghargaan tersebut. Menurutnya masih banyak yang lebih pantas menerima penghargaan tersebut, namun karena tim yang sudah memutuskan Ia pun bersyukur
“Penghargaan ini menjadi beban bagi saya, karena saya harus mempetahankan kepercayaan yang sudah diberikan oleh YCI. Diatas semuanya itu saya bersyukur atas kepercayaan dan penilaian yang diberikan YCI, walau pun masih banyak yang lebih layak menerima penghargaan ini. Namun karena ini sudah merupakan keputusan dan penilaian juri saya merasa terharu sekaligus memiliki beban,”akunya kepada BATAKPO, Selasa (11/8) di ruang kerjanya.
Selain Drs Marthite Rumapea, sebanyak 19 orang pejabat atau tokoh masyarakat se Indonesia turut menerima penghargaan tersebut. (Jas)

Keterangan Foto:
Drs Marhite Rumapea saat menerima penghargaan dari YCI Citra Abdi Nusa 2009 di Jakarta.

* Kecelakaan



Lagi, Taxi Simpati Masuk Jurang
Tapteng-Batakpos
Diduga akibat kecerobohan supir, sebuah mobil penumpang umum Simpati Taxi BK 1761 DU jurusan Sibolga-Medan, Rabu (12/8) pagi sekitar pukul 05.30 WIB, terjun bebas ke jurang dengan kedalam sekitar 20 meter. Kecelakaan yang terjadi di Km 10 Desa Simaninggir, Kecamatan Sitahuis, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara ini mengakibatkan sejumlah penumpang mengalami luka-luka dan mendapatkan perawatan di Rumah Sakit Umum Ferdinan Lumban Tobing Sibolga.
Menurut informasi yang dihimpun BATAKPOS dilokasi, mobil penumpang tersebut datang dari arah Medan menuju ke kota Sibolga dengan membawa sebanyak 8 orang penumpang. Namun, ketika sampai di lokasi kejadian, si supir memberhentikan mobilnya karena ingin buang air kecil. Namun setelah supir meninggalkan mobil, tidak berapa lama kemudian mobil meluncur ke dalam jurang dan terjun setelah menerobos pembatas jalan.
M Siregar (70), salah seorang warga desa Sitahuis yang dimintai keterangannya mengatakan bahwa, peristiwa tersebut terjadi sekira pukul 5.30 WIB. Dia mengetahui peristiwa itu setelah mendengar suara benturan yang cukup keras dan jeritan minta tolong yang diduga berasal dari penumpang taxi Simpati tersebut. ”Tadi pagi kami mendengar jeritan orang minta tolong, setelah sebelumnya kami mendengar suara benturan yang cukup keras,” katanya menerangkan. Dia menambahkan, bahwa kondisi jalan di sekitar daerah itu cukup rawan dan sering terjadi kecelakaan, seperti sebelumnya juga di km 7 daerah Sitahuis mobil penumpang taxi Simpati juga pernah jatuh dan mengakibatkan dua orang penumpangnya tewas ditempat. ”Ini masih agak lumayan karena ada pohon besar yang mengganjal mobil sehingga tidak meluncur jauh kebawah. Kalau tidak, kita tidak bisa membayangkan akibatnya,” katanya.
Sementara T Hutagalung (42), warga Hutabarangan, Sibolga Utara, paman dari salah seorang korban Seprima Pakpahan (23) mengatakan, bahwa kecelakaan itu diakibatkan oleh kelalaian si supir. Seharunysa, Dia (supir_red) tidak boleh memberhentikan kendaraannya di jalan yang menikung dan menurun seperti lokasi kejadian. ”Ini saya dengar dari keponakan saya sebelum dia tidak sadarkan diri,”katanya menirukan.
Hasil pantauan BATAKPOS di RSU FL Tobing Sibolga, ada dua penumpang yang menjalani perawatan yaitu, Seprima Pakpahan (23) warga Hutabarangan kecamatan Sibolga Utara yang mengalami benturan di kepala, dan Estina Panjaitan (49) warga Pondok Batu, Kecamatan Sarudik, Tapanuli Tengah yang mengalami patah tangan disebelah kiri.
Kapolres Tapteng AKBP Drs Reynhard Silitonga SH ketika dikonfirmasi melalui Kasat Lantas AKP Indra Warman membenarkan kejadian tersebut. Menurutnya sejauh ini pihaknya masih melakukan pengembangan dan penyelidikan atas penyebab kecelakaan mobil taxi tersebut. “Supir mobil sudah diamankan, dan kita belum dapat menyimpulkan apa penyebab kejadian tersebut,”jelasnya.
Kini mobil Simpati naas itu sudah berhasil diangkat dari dasar jurang dengan menggunakan mobil derek. (Jas).

Keterangan Foto
MASUK JURANG
Mobil Taxi Simpati jurusan Sibolga-Medan masuk jurang dengan kedalaman sekitar 20 meter, Rabu pagi (12/8). dan korbannya saat dirawat di RSUD FL Tobing Sibolga.

* Peristiwa

Akibat Listrik Padam, 1 Unit Rumah di Sarudik Terbakar

Tapteng, BATAKPOS

Gara-gara listrik padam, satu unit rumah yang ditempati Jetro Hutagalung, di lingkungan VIII, kelurahan Sarudik, Kecamatan Sarudik, Kabupaten Tapanuli Tengah (Tapteng), Sumatera Utara terbakar. Meski peristiwa yang terjadi Rabu (12/8) dini hari sekitar pukul 01.00 Wib tidak memakan korban jiwa, namun pemilik rumah mengalami kerugian puluhan juta sebab rumah dan seisinya hangus terbakar.
Informasi yang dihimpun BATAKPOS dari M Siahaan,57, selaku pemilik rumah, menjelaskan sekitar pukul 23.00 Wib lampu listrik PLN padam, warga terpaksa memasang lilin sebagai penerang. Namun naas, lilin lupa dimatikan, sehingga saat lilin mulai habis dan meleleh terkena ke tempatnya menyebabkan kebakaran dan api cepat menyambar barang – barang disekeliling bagian dapur.
Ketika api mulai membesar dan menjalar kata Siahaan, baru mereka terjaga dari tidurnya. Bahkan salah seorang anaknya Anwar, terpaksa melompat dari loteng ke bahagian bawah rumah dengan ketinggian sekira dua meter untuk menyelamatkan diri. ”Karena anak saya melompat dari atas untuk menyelamatkan diri, makanya kakinya sedikit agak terluka. Namun saat ini kondisi anak saya sudah mulai membaik,”tuturnya.
Lebih lanjut kata Siahaan, melihat api mulai membesar, sejumlah warga sempat was – was dan ketakutan bila api menjalar ke sekeliling rumah yang pemukiman sangat padat. Maka, untuk memadamkan api, sejumlah warga, bahu membahu bergotong royong memadamkan api. “Syukurlah, satu jam kemudian api dapat dipadamkan, berkat bantuan warga dengan menggunakan alat seadanya seperti ember dan lainnya. Namun api sempat menghanguskan bahagian loteng dan dapur ukuran sekira 3 x 5 meter beserta seluruh isinya dan kerugian diperkirakan puluhan juta,”pungkasnya.
Warga yang berdomisili di kawasan lingkungan VIII, Kelurahan Sarudik tersebut sebelumnya sangat menyesalkan lambannya kedatangan mobil pemadam yang akan memadamkan kobaran api. ”Kita menyesalkan lambannya kedatangan petugas mobil pemadam kebakaran ke lokasi kejadian. Untung saja warga di sekitar sini termasuk kompak dan bergotong royong memadamkan api hingga padam. Kalau tidak, kawasan pemukiman padat penduduk ini akan terbakar semunya,”ujar S Tambunan dan N Nasution.
Ironisnya, imbuhnya, setelah api berhasil di padamkan warga, Mobil pemadam kebakaran milik Pemkab Tapteng baru tiba di lokasi. Padahal jarak antara Pandan dengan lokasi kebakaran hanya sekira tiga kilometer.
Sekedar menginformasikan, kurun waktu beberapa bulan ini, arus listrik PLN ke rumah – rumah warga di Tapteng dan Sibolga kerap berjalan tidak normal atau sering padam. Kondisi pemadaman berlangsung tidak tentu terkadang 3 – 5 kali dalam sehari. Kondisi ini membuat warga kedua daerah sangat berang terlebih Pemko Sibolga, DPRD dan KNPI Sibolga yang sempat mengecam keras kondisi itu. (Jas)